Mengoptimalisasikan Sektor Sumber Daya Keanekaragaman Hayati (Kehati) Indonesia
Indonesia merupakan negara yang memiliki kenakeragaman hayati (kehati) terbesar ketiga di dunia. Di antaranya meliputi jumlah maupun frekuensi yang cukup besar mulai dari ekosistem, spesies, maupun gen di suatu tempat.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Rokhmin Dahuri mengatakan Indonesia sebagai negara dengan marine biodiversity terbesar di dunia dan terrestrial biodiversity terbesar ketiga di dunia. Ia pun berbagi strategi mengoptimalkan kinerja sektor sumber daya kehati di Indonesia agar menjadi leading sectors dan prime mover perekonomian nasional yang mampu mengatasi permasalahan bangsa kekinian.
Direktur The Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO Biotrop), Dr. Zulhamsyah Imran dalam sambutannya menyampaikan betapa penting pengelolaan kehati sebagai sumber pertumbuhan bangsa. “Kegiatan ini diharapkan bisa berbagi pengalaman dalam menata serta mengelola biodiversity dan biotechnology sebagai aset bangsa untuk tumbuh dan berkembang,” harapnya.
Rokhmin Dahuri menjelaskan, faktor yang menyebabkan kinerja sektor sumber daya kehati belum optimal disebabkan oleh belum maksimalnya kontribusi penelitian dan pengembangan atau Research and Development (R & D) terhadap industri hulu-hilir sumber daya kehati, terutama scaling-up (hilirisasi) dari invention (prototipe) hasil R & D. Masalah yang kerap ditemui akhirnya adalah pengangguran, kemiskinan, stunting, gizi buruk, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah.
“Padahal (peningkatan kinerja sektor sumber daya kehati) ini adalah (pemicu lahirnya) inovasi bagi komoditas baru, produk baru, teknologi proses baru, marketing strategi baru, dan lain-lain yang secara komersial akan dapat memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor,” ungkapnya ungkapnya saat menjadi pembicara Forum Diskusi “Morning Mind Cloud Idea (Momi Cloudia)" Seri 9 yang diadakan oleh SEAMEO Biotrop, Bogor, Selasa (14/9).
Rokhmin secara spesifik mengupas ruang lingkup dan peluang sumber daya kehati dan bioteknologi kelautan untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Bioteknologi kelautan adalah teknik penggunaan biota laut atau bagian dari biota laut (seperti sel atau enzim) untuk membuat atau memodifikasi produk, memperbaiki kualitas genetik atau fenotip tumbuhan dan hewan, dan mengembangkan (merekayasa) biota laut untuk keperluan tertentu, termasuk perbaikan lingkungan. (Lundin and Zilinskas, 1995)
Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara itu lebih lanjut menyebut, setidaknya ada empat domain industri bioteknologi kelautan, yaitu adalah sebagai berikut:
- Pertama, ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota laut untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya.
- Kedua, genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul.
- Ketiga, rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar.
- Keempat, aplikasi bioteknologi untuk konservasi.
Dalam paparannya, Rokhmin merekomendasikan strategi perbaikan gonvernance yang bisa dilakukan SEAMEO Biotrop, yaitu:
Pertama, setiap aktivitas Biotrop harus ditujukan untuk:
- Memecahkan permasalahan bangsa dan dunia saat ini maupun di masa depan;
- Pendayagunaan potensi pembangunan baik aspek SDA, SDM, maupun posisi geoekonomi bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa; dan
- Menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar dan dinamika pembangunan (market and development-oriented research).
“Output Biotrop semacam ini pasti layak publikasi di jurnal ilmiah nasional maupun internasional,” kata Rokhmin.
Kedua, para peneliti Biotrop harus meningkatkan kapasitasnya agar mampu menghasilkan hasil riset yang inovatif dan sesuai kebutuhan konsumen baik di pasar dalam maupun luar negeri, dengan kata lain invensi yang mencapai technological readiness.
Ketiga, para peneliti Biotrop harus melibatkan pihak industri (users) dan pemerintah sejak tahap perencanaan, implementasi, industrialisasi (scaling up) sampai pemasaran hasil R & D.
Keempat, pemerintah harus menyediakan infrastruktur, sarana, dan anggaran (> 3% PDB) penelitian yang mencukupi; serta memberikan kesejahteraan dan penghargaan kepada para peneliti seperti halnya (benchmarking) di negara-negara maju atau emerging economies lainnya yang lebih maju dan makmur.
“Pemerintah dan masyarakat menjamin kesejahteraan serta lebih menghargai peneliti, ilmuwan, dosen, dan guru sebagaimana di emerging economies yang lebih maju atau di negara industri maju dan kaya,” ujar Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu.
Kelima, pihak industri baik swasta nasional dan BUMN harus meningkatkan jiwa nasionalismenya. Sehingga dalam menggunakan teknologi tidak semata berdasarkan pada pertimbangan financial cost and benefit.
“Mereka harus mau mengembangkan teknologi nasional dari hasil riset tahap prototipe (invensi) bangsa sendiri," ujarnya.
Keenam, dan yang terakhir adalah multi national corporation diwajibkan melakukan transfer teknologi dan mengindustrikan/mengkomersialkan invensi peneliti nasional dengan melibatkan peneliti, dosen, dan mahasiswa di perusahaan industrinya, seperti di Singapura, Korea, dan China.
“Pemerintah memberikan insentif (seperti tax deduction dan bebas biaya impor untuk state of the art technology) dan penghargaan bagi swasta (industri) yang mau mengindustrikan invensi peneliti nasional,” jelasnya lagi.
Sebelum menutup, Rokhmin menegaskan pentingnya peningkatan kerja sama yang lebih produktif dan sinergis antarpara peneliti dan lembaga R & D di Perguruan Tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), kementerian, dan swasta. “Tidak kalah pentingnya, transfer teknologi dari negara-negara maju atau Multi National Corporations (MNC), seperti melalui reverse engineering,” pungkasnya.
Salam Lestari!
Post a Comment